Thursday, January 28, 2016

ToBa Dreams (2015)

Film ini dibuat oleh anak negri, dari anak negri, untuk anak negri. Film ini menceritakan tentang hubungan antara hubungan anak dengan ayahnya yang rumit. Menggunakan budaya Batak – film ini tepat dalam menunjukkan budaya tersebut secara utuh dan baik. Film yang mendapat nominasi di Film Festival Indonesia 2015 ini, berjalan selama hampir 2 jam 30 menit.

Nah pasti Anda berpikir, apakah film tersebut layak masuk ke dalam jajaran film terbaik tahun 2015? Untuk pembukuan Indonesia, ya. Untuk pembukuan internasional, TIDAK. Mengapa?

Film ini kekurangan motivasi dan pemikiran dari setiap langkahnya. Mulai dari skenario sampai pelaksanaan lagu.

Skenario dari film ini menurut saya sangat menarik, namun film ini tidak menciptakan “film” yang baru. Sebaliknya film ini menyontek film lain yaitu, The Godfather (1972). Beberapa teknik dari skenario, editing, dan phasing terasa sekali contekannya. Bahkan dari font judulnya menggunakan font style yang sama dengan film The Godfather (1972). Seorang pembuat film seharusnya tidak melakukan ini. Mereka seharusnya membuat film yang baru lalu menemukan referensi yang mendukung film tersebut. Bukan sebaliknya, kesannya pembuat film tersebut hanya membuat ulang dari referensi film tersebut. Beberapa adegan juga terlihat murahan – hanya membuat orang nangis secara cuma-cuma.

Acting dari film ini saya akui sangat aneh. Orang Batak memiliki ciri khas yaitu, berbicara dengan nada tinggi – telah dikonfirmasi lagi dengan teman saya, Rio (thanks, btw). Ya memang karakter-karakternya berlatar belakang orang Batak, namun, tidak semua orang Batak kan? Tetapi di film ini, hampir semuanya seperti orang Batak, padahal sebenarnya bukan orang Batak.

Melalui Acting para pemain, SETIAP adegan terasa seperti adegan KLIMAKS dari film tersebut, karena phasing dari film ini labil – naik turun tidak jelas. Selama 2 jam 30 menit itu, saya berasa lelah karena saya tidak diberikan waktu untuk “bernafas”. Lalu masalah phasing lainnya dapat kita lihat dari perkembangan karakternya. Hampir ¾ film ini hanya berfokus pada si anak dan melupakan si ayah. Potensi dari perkembangan si ayah seharusnya bisa menjadi nilai tambahan untuk memperjelas atau mempercantik budaya Batak. Bahkan hal tersebut bisa menjadi perbandingan dari dunia si anak dan dunia si ayah. Sayangnya film ini tidak seperti itu.

Penggunaan lagu dari film ini juga terlihat seperti bermain-main. Lagu-lagu dari film ini tidak mendukung suasana (mood) dari adegan dan tema dari film.

Kemudian yang paling parah – Cinematography. Penggunaan pencahayaan dari film ini tidak digunakan secara maksimal. Motivasi dari pencahayaan tidak jelas dan kadang terlihat bodoh. Ada satu adegan yang sebenarnya cahaya itu cukup terlihat, namun si anak malah menyalakan senter. Lainnya, terlihat dari peletakan kamera. Motivasi dari peletakan kamera tidak ada motivasi SAMA SEKALI. 180 degree rule di langgar begitu saja, pergerakan kamera yang tidak mendukung motivasi, dan tidak adanya inovasi dari framing.

Kesimpulan:

Film ini cuma bikin nangis mainstream audience, TITIK!

No comments:

Post a Comment