Film ini dibuat oleh anak negri, dari anak negri, untuk anak
negri. Film ini menceritakan tentang hubungan antara hubungan anak dengan
ayahnya yang rumit. Menggunakan budaya Batak – film ini tepat dalam menunjukkan
budaya tersebut secara utuh dan baik. Film yang mendapat nominasi di Film
Festival Indonesia 2015 ini, berjalan selama hampir 2 jam 30 menit.
Nah pasti Anda berpikir, apakah film tersebut layak masuk ke
dalam jajaran film terbaik tahun 2015? Untuk pembukuan Indonesia, ya. Untuk
pembukuan internasional, TIDAK. Mengapa?
Film ini kekurangan motivasi dan pemikiran dari setiap
langkahnya. Mulai dari skenario sampai pelaksanaan lagu.
Skenario dari film ini menurut saya sangat menarik, namun
film ini tidak menciptakan “film” yang baru. Sebaliknya film ini menyontek film
lain yaitu, The Godfather (1972). Beberapa teknik dari skenario, editing, dan
phasing terasa sekali contekannya. Bahkan dari font judulnya menggunakan font
style yang sama dengan film The Godfather (1972). Seorang pembuat film
seharusnya tidak melakukan ini. Mereka seharusnya membuat film yang baru lalu
menemukan referensi yang mendukung film tersebut. Bukan sebaliknya, kesannya
pembuat film tersebut hanya membuat ulang dari referensi film tersebut.
Beberapa adegan juga terlihat murahan – hanya membuat orang nangis secara
cuma-cuma.
Acting dari film ini saya akui sangat aneh. Orang Batak
memiliki ciri khas yaitu, berbicara dengan nada tinggi – telah dikonfirmasi
lagi dengan teman saya, Rio (thanks, btw). Ya memang karakter-karakternya
berlatar belakang orang Batak, namun, tidak semua orang Batak kan? Tetapi di
film ini, hampir semuanya seperti orang Batak, padahal sebenarnya bukan orang
Batak.
Melalui Acting para pemain, SETIAP adegan terasa seperti
adegan KLIMAKS dari film tersebut, karena phasing dari film ini labil – naik
turun tidak jelas. Selama 2 jam 30 menit itu, saya berasa lelah karena saya
tidak diberikan waktu untuk “bernafas”. Lalu masalah phasing lainnya dapat kita
lihat dari perkembangan karakternya. Hampir ¾ film ini hanya berfokus pada si
anak dan melupakan si ayah. Potensi dari perkembangan si ayah seharusnya bisa
menjadi nilai tambahan untuk memperjelas atau mempercantik budaya Batak. Bahkan
hal tersebut bisa menjadi perbandingan dari dunia si anak dan dunia si ayah.
Sayangnya film ini tidak seperti itu.
Penggunaan lagu dari film ini juga terlihat seperti
bermain-main. Lagu-lagu dari film ini tidak mendukung suasana (mood) dari adegan
dan tema dari film.
Kemudian yang paling parah – Cinematography. Penggunaan
pencahayaan dari film ini tidak digunakan secara maksimal. Motivasi dari
pencahayaan tidak jelas dan kadang terlihat bodoh. Ada satu adegan yang
sebenarnya cahaya itu cukup terlihat, namun si anak malah menyalakan senter.
Lainnya, terlihat dari peletakan kamera. Motivasi dari peletakan kamera tidak
ada motivasi SAMA SEKALI. 180 degree rule di langgar begitu saja, pergerakan
kamera yang tidak mendukung motivasi, dan tidak adanya inovasi dari framing.
Kesimpulan:
Film ini cuma bikin nangis mainstream audience, TITIK!
No comments:
Post a Comment