This article was made for my study at Institut Kesenian Jakarta, It would be a shame if only my lecturer who was the only one who have read my writings.
Director : Roberto
Rossellini
Producers :
Giuseppe Amato, Ferruccio De Martino, Roberto Rossellini,
Rod
E. Geiger
Writers :
Sergio Amidei, Federico Fellini
Story by :
Sergio Amidei, Alberto Consiglio
Cinematographer :
Ubaldo Arata
Music by :
Renzo Rossellini
Editor :
Eraldo Da Roma
1940an adalah waktu yang
susah bagi manusia; Perang dunia pecah di Eropa dan di Asia-Pasifik; Banyak
orang yang kehilangan – mulai dari uang sampai nyawa; Film propaganda menjadi
fokus bagi masyarakat dunia untuk ikut ke medan perang. Itulah kenyataan.
Tetapi semangat beberapa orang masih berkobar untuk membuat film. Salah satu
orang tersebut adalah Roberto Rossellini.
Rossellini memulai
produksi dari film ini saat masih dalam keadaan perang. Saat itu pihak sekutu
telah mengusir Jerman dari kota Roma. Sesuai judul, Roma merupakan Open City – kota yang dibiarkan oleh
pemerintah untuk dikuasai oleh pihak musuh untuk menjaga peninggalan dan
penduduk dari kota tersebut. Rossellini memilih Roma karena saat itu Rossellini
sedang berada disana.
Film berdurasi 1 jam 42
menit ini, menceritakan tentang situasi Italia dari beberapa protagonis:
seorang Pastur (Aldo Fabrizi), 2 orang pemberontak (Marcello Pagliero dan
Francesco Grandjacquet), seorang petinggi Jerman (Harry Feist), dan beberapa
lainnya. Kita mengikuti perkembangan cerita melalui orang-orang tersebut.
Dengan Rosselini memilih topik realisme, maka dari itu jangkauan luas dan
informasinya unrestricted atau
longgar. Maka dari itu, film ini menggunakan Art Cinema Naration. Sebagai tambahan, film ini mempunyai plot duration kurang lebih seminggu.
Sebagai film Neo-realisme
Italia, film ini berusaha menangkap situasi negara Italia pada saat itu. Film
ini membicarakan, mengkritik, dan ingin mengubah situasi Italia yang saat itu
sangat memprihatinkan. Jadi secara mise
en scene, sudah pasti terlihat tahun 1940an yang sangat suram di Italia.
Banyak sekali pendukung mise en scene dalam
film ini: kostum tentara Jerman, gedung-gedung yang antik dan hancur,
mobil-mobil yang dipakai, dan masih banyak lagi. Untuk penekanan dramatik, mise en scene yang dimasukkan juga harus
sesuai dengan karakter. Contohnya: para petinggi Jerman memiliki kantor dan
pakaian yang rapih dan mewah, karakter Marina Mari menggunakan pakaian dan
memiliki rumah yang menunjukkan glamour-nya.
Bahkan untuk menambah realistas, Rossellini menggunakan tentara-tentara Jerman
yang ditangkap untuk masuk ke dalam filmnya.
Karena keadaan, Rosselini
harus mencari stock film 35 mm seadanya, bahkan sampai ke pasar gelap. Saat itu
studio film di Italia tidak bisa menyediakan stock film. Rob E. Geiger, seorang
prajurit Amerika yang bekerja di Signal Corps, membantu Rossellini menyediakan
beberapa stock film, tetapi kondisi dari stock-stock film tersebut sudah tidak
seperti seharusnya (rusak, fogging,
atau tegores). Film hitam-putih ini akhirnya direkam dengan Academy aspect ratio (1.37:1 atau 4:3). Film
ini jarang menggunakan alat lighting, kembali lagi karena minimnya modal dan
perlengkapan pada zaman tersebut. Jika melihat secara seksama, beberapa shot
banyak yang menunjukkan kualitas dari stock-stock film tersebut. Contohnya
tidak konsistennya brightness dan kontras dari antara scene satu dengan scene
lainnya, atau terlihat goresan dari scene
tertentu. Namun, itulah yang memberikan look
yang berbeda dari film lainnya. Itulah mengapa film ini mendapat definisi
Neo-realisme Italia secara cerita maupun secara teknikal.
Film ini juga memakai
komposisi rule of thirds dengan
beberapa pola segitiga untuk mengatur blocking.
180 degree rule juga masih dijaga
dalam pembuatan film ini.
Eksposisi latar belakang
dari film ini sudah terlihat dari awal film, dimana Jerman berusaha mencari
pemberontak yang mengumpat. Lalu film ini memperkenalkan beberapa karakter,
seperti Luigi Ferraris, Pina, Don Pietro, dan Major Bergmann. Kita juga
mempelajari bagaimana sikap dan hubungan dari karakter tersebut masing-masing.
Situasi zaman itu juga terlihat dari orang-orang yang kelaparan berusaha
meminta roti, polisi-polisi Italia yang dijadikan “senjata makan tuan” bagi
negara Italia sendiri, dan adanya jam malam bagi penduduk Italia.
Selanjutnya cerita
berkembang dengan pencarian para pemberontak akibat dari peledakan sebuah mobil
oleh para pemberontak “cilik”. Lalu dilanjutkan pelarian para pemberontak dan
Don Pietro berusaha membantu para pemberontak kabur. Adegan-adegan tersebut
masuk ke dalam tahap rising action.
Cerita melakukan climax dengan adegan penyiksaan Luigi
Ferraris. Adegan ini terlihat seperti pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus –
menandakan tema agama dalam film tersebut. Kita juga melihat bagaimana pihak
Jerman menipu orang-orang sekitar – menawarkan keinginan dunia lalu membuang
mereka setelah pihak Jerman telah mendapati apa yang mereka mau. Adegan
tersebut makin menekankan tema agama dari film tersebut – Jerman sebagai Iblis.
Selain itu, adegan tersebut juga memberikan pesan lain kepada negara Jerman.
Rossellini memberikan pesan bahwa ras Jerman bukanlah ras utama, namun ras
Jerman setara dengan ras lainnya.
Sebagai anti-climax dari film tersebut, Don
Pietro dieksekusi sebagai martir yang di lihat oleh para pengikut-pengikut
“cilik”-nya.
Film ini bukanlah film
bisu, jadi film ini menggunakan suara untuk membuat realisme dari situasi
Italia semakin meyakinkan. Penggunaan non-diegetic
sound yang paling terdengar dari film ini adalahnya musiknya, tetapi harus
dibedakan bahwa masih ada musik yang masuk ke dalam kategori diegetic sound. Beberapa suara off-screen dapat terdengar saat terjadi
ledakan mobil – awalnya kita tidak bisa melihat mobil tersebut. Suara bahasa
juga diperhatikan dalam film ini, kita dapat mendengar transisi dari bahasa
Jerman ke bahasa Italia tergantung dari siapa yang sedang berbicara kepada
siapa.
Cutting
dari film ini dilakukan secara kronologis. Transisi dari scene ke scene lainnya
dilakukan secara fade in - fade out, wipe, dan dissolve. Gaya cutting yang digunakan hanya intercut dan tidak membuat penonton
bingung.
Lalu bagaimana film ini
berdampak? Apakah gaya dari film ini patut diikuti?
Film ini menunjukkan
realisme berdasarkan tahun pembuatannya. Jadi film ini mudah untuk membangun
fondasi mise en scene-nya. Tetapi
kita tidak boleh lupa dengan kendala-kendala yang harus dihadapi oleh
pembuatnya. Sepertinya sudah takdir bahwa film ini harus menghadapi
kendala-kendala tersebut. Kalau tidak, bagaimana film tersebut dapat dikenal
sebagaimana dikenal sekarang?
Gaya dari film ini
dianggap sangat realisme, beberapa orang sampai menyebutnya documentary look. Dengan minimnya alat lighting dan kurangan stock film 35 mm,
Rossellini menggunakan kreatifitas untuk membuat inovasi. Inilah yang
dibutuhkan oleh para pembuat film di zaman kini. Kreatifitas dapat mengalahkan segala
kekurangan. Memang kita membutuhkan suatu usaha lebih, namun semangat membuat
film yang dimiliki oleh Rossellini memberikan tenaga lebih untuk melewati
setiap usaha tersebut. Film ini sebenarnya memiliki banyak kekurangan teknis
yang terlihat, namun semua itu tertutup dengan semangat mereka.
Selain semangat, film ini
sangat berguna untuk dipelajari oleh para independent
filmmaker. Teknik-teknik yang dipakainya sangat sederhana. Film ini
memberitahu kita bahwa cerita lebih penting daripada teknis. Ketika kita
bercerita, kemasan dari cerita kita akan selalu menjadi “nomor dua”. Seperti
dongeng-dongeng zaman dulu, ketika orang tua kita menceritakannya kepada kita,
orang tua kita sebenarnya hanya ingin menekankan pesan atau nasihat yang terkandung
di dalam dongeng tersebut. Proses tersebut terlebih dapat menjadi pesan untuk
orang-orang yang mau membuat film secara ber-“gengsi”. Kadang orang hanya
melihat sisi kemasan sebagai hal yang HARUS dan HARUS menggunakan alat-alat
yang “canggih”. Namun, apakah kita dapat menghasilkan cerita yang efektif
dengan alat-alat yang “canggih” tersebut? Kembali lagi, kreatifitas adalah
“nomor satu” dalam proses pembuatan sebuah film.
Kita kembali lagi membahas
realisme.
Realisme itu sendiri
merupakan suatu ide, tema, dan gaya yang dapat diinterpretasikan oleh pribadi
masing-masing. Realisme bukanlah suatu “imajinasi yang terbatas”, namun malah
sebaliknya. Dengan topik realisme itu sendiri kita dapat memaparkan, mengeluarkan,
atau memberikan pendapat kita terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi
secara bersama-sama dalam dunia nyata. Dan banyak sekali caranya: secara
langsung, tidak langsung, atau menggunakan genre
lain. Contoh-contoh film yang menggunakan realisme ada banyak sekali.
Beberapa juga menggunakan
realisme agar kita dapat “mengaca” lebih mudah dengan para karakter yang ada di
film. Kekurangan dari dunia imajinatif adalah kita susah untuk “mengaca” dengan
para karakter yang ada di cerita, karena jauh dari jangkauan dunia nyata kita.
Namun sayang, masih banyak
orang yang tidak mengerti dengan konsep realisme. Konsep realisme harus juga
didukung oleh hal-hal yang berbau realisme. Kadang realisme itu sendiri
diganggu oleh dialog yang aneh, hal-hal yang tidak akurat, dan sesuatu yang
mustahil secara ilmiah. Contoh dari film tersebut adalah Furious 7 (2015). Film tersebut memiliki 2 dari 3 hal di atas.
Dialog dari film tersebut beberapa kali terasa seperti dibuat-buat dan banyak
sekali adegan yang mustahil secara ilmiah. Banyak orang yang menggunakan konsep
realisme yang benar-benar bermain-main sehingga dapat dianggap sebagai film
yang bodoh (bedakan dari bermain-main ala
Jean-Luc Godard). Sedangkan realisme tidak boleh seperti itu. Realisme harus
memberi secara jujur dan dapat dipercayai.
Sumber:
This article is truly my opinion. If you disagree with this (and that’s alright), you can always tell me how you feel in the comments below and also, thanks for reading!