Thursday, February 11, 2016

Deadpool (2016)

Ryan Reynolds produced and played as a superhero again and it’s Deadpool! Deadpool is known as a character with a uniqueness: breaking the 4th wall. I learned the character from the internet (from 9gag actually). The character became beloved by the internet – it became an internet sensation. Also, Deadpool has been part of the recent pop culture, so this movie was embracing the pop culture.

When I first heard this movie would get an R-rated, I thought that it was really for the best, because Deadpool was known as a psycotic person. You’re going to expect gore things in the movie, but not as gore as the Final Destination franchise’s.

Alright, this is a warning for everyone. I haven’t read the comic book. I only played Deadpool’s game, which was crazily funny. So I won’t compare the film with the comic book, but I will compare the film with the game and also the internet pop culture. So take it for granted.

Deadpool had a VFX test footage leaked back in 2014. The footage was amazing. So amazing, they made it again to feature in the movie… WHAT?! Look, I’ve watched the footage a hundred times on Youtube, 9gag, and many other website, so the movie hadn’t made something new. Instead they just recreate the scene, which was a downer when I first saw the trailer and film.

I want to talk about the highlight of this movie: breaking the 4th wall technique. There were a lot of funny moments and inside jokes of the X-Men Franchise, which was hillarious. But it didn’t do as much as the game’s break the 4th wall. In the game, there were a lot of breaking the 4th wall which built half-part of the whole game. But for the movie, it wasn’t as good as the game’s. I even liked The Big Short’s breaking the 4th wall moments more than Deadpool’s.

The story structure made me bored half of the movie. The exposition of the characters were too long and slow. I was expecting only 10 minutes MAX of exposition, but instead we have about 30 minutes of exposition. I mean look at The Martian, the exposition was more or less 5 minutes!

The characters’ arc were ridiculous. The main antagonist in the movie is a boss, which also is a doctor… What?! If I’m a boss of a rich corporation, I wouldn’t handle dirty jobs with my own hands. And Deadpool’s motivation wasn’t so “Deadpool”. I often see Deadpool as Ryan Reynolds, not as an actual Deadpool.

The action scenes weren’t so amazing. You can count the action scenes with your hand (not with an S) and all of it had been teased in the trailer. I wasn’t surprised at all with the action scenes. It was such a bummer!

Overall, this is a good starting point for Deadpool. The sequel is in pre-production. I would love if the sequel has a more Deadpool world than this film.

The verdict:


The movie lacks of the original stuff, which made me don’t want to watch this movie again, but there are things that made me entertained by the movie.

Friday, February 5, 2016

Rome, Open City (1945) - Film Style and Form Analysis (In Indonesian Language)

This article was made for my study at Institut Kesenian Jakarta, It would be a shame if only my lecturer who was the only one who have read my writings.

Director                                  : Roberto Rossellini
Producers                              : Giuseppe Amato, Ferruccio De Martino, Roberto Rossellini,
           Rod E. Geiger
Writers                                   : Sergio Amidei, Federico Fellini
Story by                                  : Sergio Amidei, Alberto Consiglio
Cinematographer                 : Ubaldo Arata
Music by                                : Renzo Rossellini
Editor                                      : Eraldo Da Roma

1940an adalah waktu yang susah bagi manusia; Perang dunia pecah di Eropa dan di Asia-Pasifik; Banyak orang yang kehilangan – mulai dari uang sampai nyawa; Film propaganda menjadi fokus bagi masyarakat dunia untuk ikut ke medan perang. Itulah kenyataan. Tetapi semangat beberapa orang masih berkobar untuk membuat film. Salah satu orang tersebut adalah Roberto Rossellini.

Rossellini memulai produksi dari film ini saat masih dalam keadaan perang. Saat itu pihak sekutu telah mengusir Jerman dari kota Roma. Sesuai judul, Roma merupakan Open City – kota yang dibiarkan oleh pemerintah untuk dikuasai oleh pihak musuh untuk menjaga peninggalan dan penduduk dari kota tersebut. Rossellini memilih Roma karena saat itu Rossellini sedang berada disana.

Film berdurasi 1 jam 42 menit ini, menceritakan tentang situasi Italia dari beberapa protagonis: seorang Pastur (Aldo Fabrizi), 2 orang pemberontak (Marcello Pagliero dan Francesco Grandjacquet), seorang petinggi Jerman (Harry Feist), dan beberapa lainnya. Kita mengikuti perkembangan cerita melalui orang-orang tersebut. Dengan Rosselini memilih topik realisme, maka dari itu jangkauan luas dan informasinya unrestricted atau longgar. Maka dari itu, film ini menggunakan Art Cinema Naration. Sebagai tambahan, film ini mempunyai plot duration kurang lebih seminggu.

Sebagai film Neo-realisme Italia, film ini berusaha menangkap situasi negara Italia pada saat itu. Film ini membicarakan, mengkritik, dan ingin mengubah situasi Italia yang saat itu sangat memprihatinkan. Jadi secara mise en scene, sudah pasti terlihat tahun 1940an yang sangat suram di Italia. Banyak sekali pendukung mise en scene dalam film ini: kostum tentara Jerman, gedung-gedung yang antik dan hancur, mobil-mobil yang dipakai, dan masih banyak lagi. Untuk penekanan dramatik, mise en scene yang dimasukkan juga harus sesuai dengan karakter. Contohnya: para petinggi Jerman memiliki kantor dan pakaian yang rapih dan mewah, karakter Marina Mari menggunakan pakaian dan memiliki rumah yang menunjukkan glamour-nya. Bahkan untuk menambah realistas, Rossellini menggunakan tentara-tentara Jerman yang ditangkap untuk masuk ke dalam filmnya.

Karena keadaan, Rosselini harus mencari stock film 35 mm seadanya, bahkan sampai ke pasar gelap. Saat itu studio film di Italia tidak bisa menyediakan stock film. Rob E. Geiger, seorang prajurit Amerika yang bekerja di Signal Corps, membantu Rossellini menyediakan beberapa stock film, tetapi kondisi dari stock-stock film tersebut sudah tidak seperti seharusnya (rusak, fogging, atau tegores). Film hitam-putih ini akhirnya direkam dengan Academy aspect ratio (1.37:1 atau 4:3). Film ini jarang menggunakan alat lighting, kembali lagi karena minimnya modal dan perlengkapan pada zaman tersebut. Jika melihat secara seksama, beberapa shot banyak yang menunjukkan kualitas dari stock-stock film tersebut. Contohnya tidak konsistennya brightness dan kontras dari antara scene satu dengan scene lainnya, atau terlihat goresan dari scene tertentu. Namun, itulah yang memberikan look yang berbeda dari film lainnya. Itulah mengapa film ini mendapat definisi Neo-realisme Italia secara cerita maupun secara teknikal.

Film ini juga memakai komposisi rule of thirds dengan beberapa pola segitiga untuk mengatur blocking. 180 degree rule juga masih dijaga dalam pembuatan film ini.

Eksposisi latar belakang dari film ini sudah terlihat dari awal film, dimana Jerman berusaha mencari pemberontak yang mengumpat. Lalu film ini memperkenalkan beberapa karakter, seperti Luigi Ferraris, Pina, Don Pietro, dan Major Bergmann. Kita juga mempelajari bagaimana sikap dan hubungan dari karakter tersebut masing-masing. Situasi zaman itu juga terlihat dari orang-orang yang kelaparan berusaha meminta roti, polisi-polisi Italia yang dijadikan “senjata makan tuan” bagi negara Italia sendiri, dan adanya jam malam bagi penduduk Italia.

Selanjutnya cerita berkembang dengan pencarian para pemberontak akibat dari peledakan sebuah mobil oleh para pemberontak “cilik”. Lalu dilanjutkan pelarian para pemberontak dan Don Pietro berusaha membantu para pemberontak kabur. Adegan-adegan tersebut masuk ke dalam tahap rising action.

Cerita melakukan climax dengan adegan penyiksaan Luigi Ferraris. Adegan ini terlihat seperti pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus – menandakan tema agama dalam film tersebut. Kita juga melihat bagaimana pihak Jerman menipu orang-orang sekitar – menawarkan keinginan dunia lalu membuang mereka setelah pihak Jerman telah mendapati apa yang mereka mau. Adegan tersebut makin menekankan tema agama dari film tersebut – Jerman sebagai Iblis. Selain itu, adegan tersebut juga memberikan pesan lain kepada negara Jerman. Rossellini memberikan pesan bahwa ras Jerman bukanlah ras utama, namun ras Jerman setara dengan ras lainnya.

Sebagai anti-climax dari film tersebut, Don Pietro dieksekusi sebagai martir yang di lihat oleh para pengikut-pengikut “cilik”-nya.

Film ini bukanlah film bisu, jadi film ini menggunakan suara untuk membuat realisme dari situasi Italia semakin meyakinkan. Penggunaan non-diegetic sound yang paling terdengar dari film ini adalahnya musiknya, tetapi harus dibedakan bahwa masih ada musik yang masuk ke dalam kategori diegetic sound. Beberapa suara off-screen dapat terdengar saat terjadi ledakan mobil – awalnya kita tidak bisa melihat mobil tersebut. Suara bahasa juga diperhatikan dalam film ini, kita dapat mendengar transisi dari bahasa Jerman ke bahasa Italia tergantung dari siapa yang sedang berbicara kepada siapa.

Cutting dari film ini dilakukan secara kronologis. Transisi dari scene ke scene lainnya dilakukan secara fade in - fade out, wipe, dan dissolve. Gaya cutting yang digunakan hanya intercut dan tidak membuat penonton bingung.

Lalu bagaimana film ini berdampak? Apakah gaya dari film ini patut diikuti?

Film ini menunjukkan realisme berdasarkan tahun pembuatannya. Jadi film ini mudah untuk membangun fondasi mise en scene-nya. Tetapi kita tidak boleh lupa dengan kendala-kendala yang harus dihadapi oleh pembuatnya. Sepertinya sudah takdir bahwa film ini harus menghadapi kendala-kendala tersebut. Kalau tidak, bagaimana film tersebut dapat dikenal sebagaimana dikenal sekarang?

Gaya dari film ini dianggap sangat realisme, beberapa orang sampai menyebutnya documentary look. Dengan minimnya alat lighting dan kurangan stock film 35 mm, Rossellini menggunakan kreatifitas untuk membuat inovasi. Inilah yang dibutuhkan oleh para pembuat film di zaman kini. Kreatifitas dapat mengalahkan segala kekurangan. Memang kita membutuhkan suatu usaha lebih, namun semangat membuat film yang dimiliki oleh Rossellini memberikan tenaga lebih untuk melewati setiap usaha tersebut. Film ini sebenarnya memiliki banyak kekurangan teknis yang terlihat, namun semua itu tertutup dengan semangat mereka.

Selain semangat, film ini sangat berguna untuk dipelajari oleh para independent filmmaker. Teknik-teknik yang dipakainya sangat sederhana. Film ini memberitahu kita bahwa cerita lebih penting daripada teknis. Ketika kita bercerita, kemasan dari cerita kita akan selalu menjadi “nomor dua”. Seperti dongeng-dongeng zaman dulu, ketika orang tua kita menceritakannya kepada kita, orang tua kita sebenarnya hanya ingin menekankan pesan atau nasihat yang terkandung di dalam dongeng tersebut. Proses tersebut terlebih dapat menjadi pesan untuk orang-orang yang mau membuat film secara ber-“gengsi”. Kadang orang hanya melihat sisi kemasan sebagai hal yang HARUS dan HARUS menggunakan alat-alat yang “canggih”. Namun, apakah kita dapat menghasilkan cerita yang efektif dengan alat-alat yang “canggih” tersebut? Kembali lagi, kreatifitas adalah “nomor satu” dalam proses pembuatan sebuah film.

Kita kembali lagi membahas realisme.

Realisme itu sendiri merupakan suatu ide, tema, dan gaya yang dapat diinterpretasikan oleh pribadi masing-masing. Realisme bukanlah suatu “imajinasi yang terbatas”, namun malah sebaliknya. Dengan topik realisme itu sendiri kita dapat memaparkan, mengeluarkan, atau memberikan pendapat kita terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi secara bersama-sama dalam dunia nyata. Dan banyak sekali caranya: secara langsung, tidak langsung, atau menggunakan genre lain. Contoh-contoh film yang menggunakan realisme ada banyak sekali.

Beberapa juga menggunakan realisme agar kita dapat “mengaca” lebih mudah dengan para karakter yang ada di film. Kekurangan dari dunia imajinatif adalah kita susah untuk “mengaca” dengan para karakter yang ada di cerita, karena jauh dari jangkauan dunia nyata kita.

Namun sayang, masih banyak orang yang tidak mengerti dengan konsep realisme. Konsep realisme harus juga didukung oleh hal-hal yang berbau realisme. Kadang realisme itu sendiri diganggu oleh dialog yang aneh, hal-hal yang tidak akurat, dan sesuatu yang mustahil secara ilmiah. Contoh dari film tersebut adalah Furious 7 (2015). Film tersebut memiliki 2 dari 3 hal di atas. Dialog dari film tersebut beberapa kali terasa seperti dibuat-buat dan banyak sekali adegan yang mustahil secara ilmiah. Banyak orang yang menggunakan konsep realisme yang benar-benar bermain-main sehingga dapat dianggap sebagai film yang bodoh (bedakan dari bermain-main ala Jean-Luc Godard). Sedangkan realisme tidak boleh seperti itu. Realisme harus memberi secara jujur dan dapat dipercayai.

Sumber:


This article is truly my opinion. If you disagree with this (and that’s alright), you can always tell me how you feel in the comments below and also, thanks for reading!

M (1931) - Film Form Analysis (In Indonesian Language)

This article was made for my study at Institut Kesenian Jakarta, It would be a shame if only my lecturer who was the only one who have read my writings.


Director                                   : Fritz Lang
Producer                                 : Seymour Nebenzal
Writers                                    : Fritz Lang, Thea von Harbou, Paul Falkenberg, Adolf Jansen,
            Karl Vash
Cinematographer                  : Fritz Amo Wagner
Music by                                 : Edvard Grieg
Editor                                       : Paul Falkenberg

Inilah film suara pertama yang dibuat oleh sutradara Jerman, Fritz Lang. Film ini dianggap salah satu film yang membuka mata dunia. Fritz Lang dan istrinya, Thea von Harbou, melakukan riset yang mendalam demi pembuatan dari film ini. Mereka mencari ide dan beberapa unsur lainnya untuk membuat isi dari film tersebut dekat dengan realitas. Lang menganggap film ini sebagai film terbaiknya.

Film ini menceritakan seorang pembunuh anak yang berkeliaran di kota Berlin. Kita mengikuti proses perkembangan cerita yang kompleks, yaitu melalui berbagai macam karakter – polisi, gangster, masyarakat umum, bahkan sang pembunuhnya sendiri. Protagonis dari film ini bermacam-macam, namun yang utama adalah anti-hero pembunuh anak kecil, Hans Beckert yang dimainkan oleh Peter Lorre. Dari sisi polisi, kita mengikuti Inspector Karl Lohmann yang dimainkan oleh Otto Wernicke dan dari sisi gangster, kita mengikuti Der Schränker (The Safecracker) yang dimainkan oleh Gustaf Gründgens.

Film berdurasi hampir 2 jam ini, ber-setting pada dunia modern 1930-an, dengan plot duration kurang lebih seminggu. Fritz Lang memilih plot dengan baik. Lang menjaga agar sebab-akibat (kausalitas) dari film ini sesuai dengan perkembangan cerita dan masuk akal. Lang memilih dunia modern karena sifatnya lebih umum, jangkauannya luas, dan sifat informasinya unrestricted atau longgar. Dengan ini Lang dapat berinovasi dan memuat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi secara realitas di dalam kehidupan penonton-penonton. Struktur ini merupakan art cinema naration.

Lang memulai film dengan anak-anak yang sedang bermain sambil menyanyikan lagu tentang pembunuhan anak, lalu kamera berpindah kepada sebuah poster tentang pembunuh anak, akhirnya Lang berpindah kepada seorang ibu yang menyuruh mereka berhenti untuk menyanyikan lagu seram tersebut, namun anak-anak tersebut masih menyanyikan lagu tersebut setelah ibu itu pergi. Establishing dari latar belakang cerita dapat terlihat dalam satu continuous shot tersebut. Kita mempelajari bagaimana adanya seorang pembunuh, bagaimana para orang tua khawatir, bagaimana anak-anak masih banyak yang belum mengerti dengan bahaya yang sedang terjadi. Tempo cerita lalu berpindah dari pembunuhan baru, kejadian-kejadian saling curiga dalam masyarakat, kerja keras para polisi, dan lunaknya evidensi untuk mencari pembunuh anak. Tempo-tempo ini masuk ke dalam tahap pengenalan situasi cerita.

Selanjutnya, cerita berkembang dengan rapat antar anggota gangster yang diceritakan secara pararel dengan rapat antar kepala polisi. Dari rapat tersebut, transisi berubah dari pengenalan menjadi perkembangan lanjutan dari cerita, atau disebut dengan Rising Action. Rapat dari gangster menimbulkan gerakan untuk mencari sang pembunuh di luar tangan para autoritas resmi dan rapat dari para kepala polisi menimbulkan investigasi yang memusatkan pada orang-orang yang memiliki masalah psikologis. Perkembangan selanjutnya, kita melihat Hans mulai mencari mangsanya lagi. Hans diberikan tanda “M” pada bajunya sebagai tanda pembunuh (M=Morder, Inggris: Murderer). Kemudian dari tanda tersebut, Hans dikejar oleh anak buah para gangster. Penutupan dari tahap ini adalah Hans yang ketahuan mengumpat di sebuah tempat kerja.

Perkembangan climax dari cerita terlihat pada adegan pengadilan yang dibuat oleh para gangster – Hans tertangkap dan diadili secara tidak adil. Hans membela dirinya dengan menjelaskan situasi dirinya yang tidak stabil. Lalu konflik ditutup dengan kedatangan polisi.

Film tersebut lalu ditutup dengan adegan pengadilan Hans yang dilakukan secara resmi dan sebuah monolog dari seorang ibu yang anaknya telah dibunuh oleh Hans.

Penceritaan yang kompleks dari film ini memberikan banyak pesan – tergantung bagaimana sudut pandang orang yang melihat dari film tersebut. Secara umum, film ini memberi pesan bahwa “kita tidak boleh membunuh.” Namun secara khusus kita juga diberitahu bahwa “seorang penjahat juga manusia.” Banyak sekali turunan pesan dari film layar lebar ini. Lang, bersama dengan istrinya, telah menyajikan sebuah cerita yang dibuat dengan riset yang memakan tenaga dan waktu. Usaha mereka menjadi dasar bagi para penulis untuk mendekatkan diri mereka dengan topik yang mereka dalami; Mereka membuat batasan dan mengumpulkan ide; Mereka membangun fondasi dari cerita secara matang dan memiliki isi; Mereka berusaha menghayati atau menempatkan diri mereka dengan para pelaku. Hal-hal tersebut menjadi harus untuk membuat sebuah cerita dengan topik yang masih dianggap asing oleh penulis.

Lalu, bagaimana dampak dan sebagaimana efektif dari konsep penceritaan film ini?

Film ini tentu saja memberikan dampak secara signifikan kepada dunia industri. Standar industri menjadi lebih tinggi – mereka menuntut sebuah cerita yang memiliki “berat” akan informasi dan pesan. Usaha para penulis juga dituntut untuk dimaksimalkan. Contoh-contoh usaha tersebut terlihat sampai ke dunia sekarang, seperti: Paul Schrader dengan skenarionya Taxi Driver (1976) atau Jonathan Nolan dengan skenarionya Interstellar (2014). Kedua film tersebut “dipoles” dengan riset yang mendalam.

Yang menjadi perhatian saya adalah protagonis utama dari film ini. Protagonis utama dari film ini tidak memiliki sifat orang yang baik, namun sebaliknya. Istilah dari karakter tersebut adalah anti-hero. Tetapi, dengan munculnya anti-hero­, proses penceritaan akan menjadi lebih sulit. Pada dasarnya manusia memiliki sifat yang baik, mereka semua ingin masuk Surga. Kita sudah terbiasa “mengaca” dengan protagonis-protagonis yang memiliki sifat yang baik. Tetapi, apakah kita akan terbiasa “mengaca” dengan para anti-hero? Disinilah Lang dapat menjelaskan dengan baik.

Hans merupakan seorang pembunuh, namun seorang pembunuh harus memiliki motif untuk membunuh – walaupun motif tersebut hanyalah “suka membunuh.” Disini kita dapat melihat Hans sebagai manusia, bukan hanya secara fisik, namun juga secara mental. Hans tidak dapat menahan keinginan untuk membunuh. Dalam perkembangan cerita, ada beberapa saat, dimana ia mencoba menahan keinginan tersebut dengan meminum alkohol. Namun keinginan tersebut tidak dapat tertahankan lagi. Hans mengeluarkan penyesalannya saat diancam untuk dibunuh. Monolog Hans menjadi perhatian utama dari film tersebut. Disini Lang memanusiakan pembunuh tersebut. Lang membuat Hans menjadi manusia yang rapuh pada adegan tersebut, bukan sebagai seorang pembunuh yang seram.

Selain itu, ibu dari Elsie, yang hanya membuka dan menutup film, dapat diidentifikasi dengan baik walaupun memiliki waktu tampil yang sedikit. Kita dapat merasakan bagaimana menunggu seorang yang kita sayangi dan orang tersebut tidak pulang. Dan kita dapat merasakan bagaimana perasaannya jika kita sudah melihat pembunuh dari orang yang kita sayangi.

Konsep penceritaan dari film ini tidak berfokus pada satu protagonis saja. Tetapi apakah ini menjadi hal yang efektif dari proses penceritaan? Tentu saja, namun kita menjadi susah untuk mengidentifikasikan diri kita terhadap beberapa protagonis tersebut. Kita, sebagai penonton, membutuhkan waktu untuk mengidentifikasikan diri kita dengan para protagonis. Hal tersebut menjadi susah ketika waktu sangat terbatas. Saya sendiri susah beridentifikasi dengan para protagonis. Saya hanya dapat beridentifikasi dengan Hans dan Ibu dari Elsie.

Di dalam film ini, Lang membuat sebuah cerita dunia modern yang kompleks dan berisi. Kemudian Lang juga memberikan pesan yang baik untuk kita – Lang menganggap semua orang adalah manusia yang baik dan setiap orang memiliki gangguannya masing-masing.

Sumber:


This article is truly my opinion. If you disagree with this (and that’s alright), you can always tell me how you feel in the comments below and also, thanks for reading!

Breathless (1960) - Film Style Analysis (In Indonesian Language)

This article was made for my study at Institut Kesenian Jakarta, It would be a shame if only my lecturer who was the only one who have read my writings.


Director                                   : Jean-Luc Godard
Producer                                 : Georges de Beauregard
Writer                                       : Jean-Luc Godard
Based on                                 : François Truffaut’s original treatment
Cinematographer             : Raoul Coutard
Music by                                  : Martial Solal
Editor                                        : Cécile Decugis & Lila Herman

Jean-Luc Godard merupakan salah satu pionir dari masa La Nouvelle Vauge (Inggris: French New Wave). Terinspirasi dari Neo-Realisme Italia, Breathless dibuat dengan gaya yang dianggap unik pada saat itu – menggunakan jump cut, menggunakan kursi roda, minim alat lighting, dan sistem kerja yang unik. Film berdurasi 90 menit ini masih memberikan pengaruh sampai ke dunia sinema sekarang; Teknik jump cut dipakai oleh para youtuber untuk membuat tempo berbicara mereka lebih cepat; Penggunaan minim alat lighting menginspirasi para independent filmmaker dan gerakan Dogme 95.

Setting dari film ini adalah di Perancis tahun 1950an. Kita dapat melihat teknologi dan suasana dari setting tersebut. Contoh setting yang mendukung tahun tersebut adalah radio. Pada zaman itu, televisi masih dianggap mahal – hanya masyarakat atas yang meiliki televisi. Namun semua orang memiliki radio. Radio digunakan oleh film ini sebagai salah satu point dari Mise en Scene 1950an.

Godard menginginkan film yang terkesan documentary atau bisa disebut pendekatan realisme, seperti shooting on location. Jadi Godard membuat film tersebut dengan pengeluaran yang seminim mungkin. Hal ini memaksa cinematographer Raoul Coutard untuk berinovasi. Coutard menggunakan 35 mm film HPS milik Ilford yang peka terhadap cahaya, namun pada saat itu hanya tersedia hanya untuk kamera fotografi. Coutard menggabungkan setiap roll film fotografi tersebut sehingga menjadi roll film untuk kamera sinema. Setelah itu, Coutard menaikkan ISO/ASA dari 400 menjadi 800. Film ini lalu dimasukkan ke dalam kamera merk Eclair – merekam hitam putih dengan Academy Aspect Ratio (1.37:1 atau 4:3) dan 24 Frame Per Second. Karena mereka hitam putih, maka hasil kontrasnya akan tinggi dengan brightness yang juga cukup tinggi di siang hari dan brightness rendah untuk di dalam ruangan atau malam hari.

Film ini hampir setiap shot-nya menggunakan handheld. Terlihat sekali bagaimana film ini menggunakan ­komposisi Rule of Thirds. Contoh yang paling terlihat adalah komposisi saat Michel berjalan dengan Patricia (two shot) dan saat Patricia berkaca di toilet.

Masalah yang timbul karena penggunaan kamera Éclair adalah kebisingan dari mesin kameranya. Sebagian besar suara dari film in harus direkam ulang melalui ADR (Automated Dialogue Replacement) dan Foely – dan semuanya merupakan Diegetic Sound. Contoh Non-Diegetic Sound dari film ini adalah penggunaan musik untuk menaikkan emosi atau pembukaan dan penutupan dari film.

Cutting dari film ini tidak menggunakan gaya yang “bermacam-macam”, hanya Intercut secara kronologis cerita. Film ini juga menggunakan sequence shot tanpa diganggu oleh cut ataupun jump cut. Biasanya dipadukan dengan teknik tracking menggunakan kursi roda. Contohnya saat Michel bertemu dengan Patricia atau pada saat Michel bertemu Tolmachoff. Film ini juga menggunakan intercut yang terlihat tidak lazim, atau lebih tepatnya kadang membuat orang bingung. Contohnya saat Michel berusaha mengambil senjata dari mobil curiannya yang mogok, menembak polisi, dan berlari di sebuah lapangan. Cutting dari adegan tersebut membuat beberapa orang bingung, karena melanggar 180 degree rule.

Secara keseluruhan, film ini terlihat memang terlihat seperti bermain-main. Sistem kerja yang dilakukan oleh Godard memang tidak lazim – tidak mengikuti standar industri. Banyak orang mengaku cara kerjanya tidak rapih, namun Assistant Director Pierre Rissient mengaku cara kerja Godard sangat terorganisir, dengan kata lain rapih. Tetapi sebagian besar penonton hanya melihat sebuah film dari hasilnya, bukan prosesnya (sayangnya mainstream audience seperti itu). Maka film ini bisa dianggap sukses kalau dilihat dari dampaknya.

Lalu bagaimana dengan pendapat diri saya personal dengan film ini? Apakah film ini baik untuk cara kerja saya ke depannya?

Jika Anda bertanya seperti itu, maka “YA”.

Film ini menggunakan teknik jump cut yang mempunyai dampak bahwa orang-orang tersebut akan berbicara dengan tempo cepat. Jika saya merekam orang wawancara, saya lebih suka melihat orang berbicara dengan tempo yang cepat, apalagi jika orang itu adalah orang yang superior. Biasanya yang saya potong adalah bagian “Ehhmmm…” atau “Hmmmm…” dari dialog orang tersebut. Potongan-potongan ini akan memberikan kesan konsistensi dari orang yang berdialog tersebut.

Selain dari teknik jump cut tersebut, saya tidak akan menggunakan teknik cutting yang bermain-main seperti yang dilakukan Godard. Saya merasa bingung atau terbawa keluar dari ruang cerita kadang kali saat menonton film ini. Tugas saya sebagai orang yang suka bercerita adalah menyalurkan cerita tersebut dengan jelas!
Selain itu adalah minimnya penggunaan alat lighting. Teknik ini dilihat oleh para independent filmmaker, termasuk diri saya sendiri. Dengan merekam hitam-putih, kita tidak perlu bermasalah dengan warna. Kita hanya harus fokus dengan lighting dari frame kita – hilanglah satu beban dari proses pembuatan film. Namun, kita tetap harus bisa membuat kontras dan brightness yang seimbang sehingga penonton dapat melihat isi dari frame kita. Selain itu, style yang bisa saya tuju dari penggunaan hitam-putih adalah neo-noir (sebagai style bukan genre).

Yang saya paling tidak suka dari film ini adalah sistem kerjanya. Godard membuat script, namun script itu tidak dikuti sepenuhnya. Ia memberikan dialog yang baru selama proses shooting berlangsung. Para aktor dan aktris harus berimprovisasi. Beberapa orang tidak merasa nyaman dengan cara kerja seperti ini. Saya sudah terbiasa dengan sistem kerja industri yang memiliki batasan untuk menjaga diri kita agar sesuai dengan jalurnya. Godard menggunakan caranya sendiri yang dia anggap baik, iapun menyimpan catatan-catatan kecil dalam bukunya. Namun jika dilihat, film ini kadang tidak terlihat konsisten, karena banyak dari cast dan crew tidak mengerti harus melakukan apa. Tugas seorang sutradara adalah mempersatukan pemikiran dari sebuah tim pembuat film. Contoh kasus pada film ini adalah pemeran Patricia, Jean Seberg, memiliki hubungan yang tegang dengan Godard ketika mengeksekusi cara acting Seberg di akhir film; Seberg menginginkan acting yang emosional – tegang, keras, dan penuh amarah; Godard menginginkan acting yang tenang.

Namun, proses yang spontanitas dari film ini memberikan cara tambahan untuk membuat film. Cara ini dapat dilaksanakan dalam film yang berskala kecil. Contohnya seperti film hitam-putih saya yang saya rekam dan saya post di akun Instagram saya (@henry.ali). Proses dari pembuatan film hitam-putih tersebut sangat spontan; Saya tidak menulis script, namun saya membuat sebuah atau beberapa outline di dalam otakku. Hasilnya cukup memuaskan. Cara spontan ini juga berguna untuk shooting sebuah dokumentasi. Shooting dokumentasi berarti kita harus menangkap moment yang hanya terjadi sekali. Kita harus bisa berpikir cepat dan siaga. Kegunaan dari proses berpikir spontanitas ini juga berguna ketika kita mengalami masalah dalam tahap produksi film. Di set sebuah film, tiba-tiba seorang aktor tidak dapat hadir, atau kita mengalami kerusakan teknis, dan kita harus mendapat shot itu di hari itu juga. Proses berpikir spontanitas dapat membantu kita untuk mengatasi masalah ini.

Sumber:


This article is truly my opinion. If you disagree with this (and that’s alright), you can always tell me how you feel in the comments below and also, thanks for reading!