Friday, February 5, 2016

Rome, Open City (1945) - Film Style and Form Analysis (In Indonesian Language)

This article was made for my study at Institut Kesenian Jakarta, It would be a shame if only my lecturer who was the only one who have read my writings.

Director                                  : Roberto Rossellini
Producers                              : Giuseppe Amato, Ferruccio De Martino, Roberto Rossellini,
           Rod E. Geiger
Writers                                   : Sergio Amidei, Federico Fellini
Story by                                  : Sergio Amidei, Alberto Consiglio
Cinematographer                 : Ubaldo Arata
Music by                                : Renzo Rossellini
Editor                                      : Eraldo Da Roma

1940an adalah waktu yang susah bagi manusia; Perang dunia pecah di Eropa dan di Asia-Pasifik; Banyak orang yang kehilangan – mulai dari uang sampai nyawa; Film propaganda menjadi fokus bagi masyarakat dunia untuk ikut ke medan perang. Itulah kenyataan. Tetapi semangat beberapa orang masih berkobar untuk membuat film. Salah satu orang tersebut adalah Roberto Rossellini.

Rossellini memulai produksi dari film ini saat masih dalam keadaan perang. Saat itu pihak sekutu telah mengusir Jerman dari kota Roma. Sesuai judul, Roma merupakan Open City – kota yang dibiarkan oleh pemerintah untuk dikuasai oleh pihak musuh untuk menjaga peninggalan dan penduduk dari kota tersebut. Rossellini memilih Roma karena saat itu Rossellini sedang berada disana.

Film berdurasi 1 jam 42 menit ini, menceritakan tentang situasi Italia dari beberapa protagonis: seorang Pastur (Aldo Fabrizi), 2 orang pemberontak (Marcello Pagliero dan Francesco Grandjacquet), seorang petinggi Jerman (Harry Feist), dan beberapa lainnya. Kita mengikuti perkembangan cerita melalui orang-orang tersebut. Dengan Rosselini memilih topik realisme, maka dari itu jangkauan luas dan informasinya unrestricted atau longgar. Maka dari itu, film ini menggunakan Art Cinema Naration. Sebagai tambahan, film ini mempunyai plot duration kurang lebih seminggu.

Sebagai film Neo-realisme Italia, film ini berusaha menangkap situasi negara Italia pada saat itu. Film ini membicarakan, mengkritik, dan ingin mengubah situasi Italia yang saat itu sangat memprihatinkan. Jadi secara mise en scene, sudah pasti terlihat tahun 1940an yang sangat suram di Italia. Banyak sekali pendukung mise en scene dalam film ini: kostum tentara Jerman, gedung-gedung yang antik dan hancur, mobil-mobil yang dipakai, dan masih banyak lagi. Untuk penekanan dramatik, mise en scene yang dimasukkan juga harus sesuai dengan karakter. Contohnya: para petinggi Jerman memiliki kantor dan pakaian yang rapih dan mewah, karakter Marina Mari menggunakan pakaian dan memiliki rumah yang menunjukkan glamour-nya. Bahkan untuk menambah realistas, Rossellini menggunakan tentara-tentara Jerman yang ditangkap untuk masuk ke dalam filmnya.

Karena keadaan, Rosselini harus mencari stock film 35 mm seadanya, bahkan sampai ke pasar gelap. Saat itu studio film di Italia tidak bisa menyediakan stock film. Rob E. Geiger, seorang prajurit Amerika yang bekerja di Signal Corps, membantu Rossellini menyediakan beberapa stock film, tetapi kondisi dari stock-stock film tersebut sudah tidak seperti seharusnya (rusak, fogging, atau tegores). Film hitam-putih ini akhirnya direkam dengan Academy aspect ratio (1.37:1 atau 4:3). Film ini jarang menggunakan alat lighting, kembali lagi karena minimnya modal dan perlengkapan pada zaman tersebut. Jika melihat secara seksama, beberapa shot banyak yang menunjukkan kualitas dari stock-stock film tersebut. Contohnya tidak konsistennya brightness dan kontras dari antara scene satu dengan scene lainnya, atau terlihat goresan dari scene tertentu. Namun, itulah yang memberikan look yang berbeda dari film lainnya. Itulah mengapa film ini mendapat definisi Neo-realisme Italia secara cerita maupun secara teknikal.

Film ini juga memakai komposisi rule of thirds dengan beberapa pola segitiga untuk mengatur blocking. 180 degree rule juga masih dijaga dalam pembuatan film ini.

Eksposisi latar belakang dari film ini sudah terlihat dari awal film, dimana Jerman berusaha mencari pemberontak yang mengumpat. Lalu film ini memperkenalkan beberapa karakter, seperti Luigi Ferraris, Pina, Don Pietro, dan Major Bergmann. Kita juga mempelajari bagaimana sikap dan hubungan dari karakter tersebut masing-masing. Situasi zaman itu juga terlihat dari orang-orang yang kelaparan berusaha meminta roti, polisi-polisi Italia yang dijadikan “senjata makan tuan” bagi negara Italia sendiri, dan adanya jam malam bagi penduduk Italia.

Selanjutnya cerita berkembang dengan pencarian para pemberontak akibat dari peledakan sebuah mobil oleh para pemberontak “cilik”. Lalu dilanjutkan pelarian para pemberontak dan Don Pietro berusaha membantu para pemberontak kabur. Adegan-adegan tersebut masuk ke dalam tahap rising action.

Cerita melakukan climax dengan adegan penyiksaan Luigi Ferraris. Adegan ini terlihat seperti pengorbanan yang dilakukan oleh Yesus – menandakan tema agama dalam film tersebut. Kita juga melihat bagaimana pihak Jerman menipu orang-orang sekitar – menawarkan keinginan dunia lalu membuang mereka setelah pihak Jerman telah mendapati apa yang mereka mau. Adegan tersebut makin menekankan tema agama dari film tersebut – Jerman sebagai Iblis. Selain itu, adegan tersebut juga memberikan pesan lain kepada negara Jerman. Rossellini memberikan pesan bahwa ras Jerman bukanlah ras utama, namun ras Jerman setara dengan ras lainnya.

Sebagai anti-climax dari film tersebut, Don Pietro dieksekusi sebagai martir yang di lihat oleh para pengikut-pengikut “cilik”-nya.

Film ini bukanlah film bisu, jadi film ini menggunakan suara untuk membuat realisme dari situasi Italia semakin meyakinkan. Penggunaan non-diegetic sound yang paling terdengar dari film ini adalahnya musiknya, tetapi harus dibedakan bahwa masih ada musik yang masuk ke dalam kategori diegetic sound. Beberapa suara off-screen dapat terdengar saat terjadi ledakan mobil – awalnya kita tidak bisa melihat mobil tersebut. Suara bahasa juga diperhatikan dalam film ini, kita dapat mendengar transisi dari bahasa Jerman ke bahasa Italia tergantung dari siapa yang sedang berbicara kepada siapa.

Cutting dari film ini dilakukan secara kronologis. Transisi dari scene ke scene lainnya dilakukan secara fade in - fade out, wipe, dan dissolve. Gaya cutting yang digunakan hanya intercut dan tidak membuat penonton bingung.

Lalu bagaimana film ini berdampak? Apakah gaya dari film ini patut diikuti?

Film ini menunjukkan realisme berdasarkan tahun pembuatannya. Jadi film ini mudah untuk membangun fondasi mise en scene-nya. Tetapi kita tidak boleh lupa dengan kendala-kendala yang harus dihadapi oleh pembuatnya. Sepertinya sudah takdir bahwa film ini harus menghadapi kendala-kendala tersebut. Kalau tidak, bagaimana film tersebut dapat dikenal sebagaimana dikenal sekarang?

Gaya dari film ini dianggap sangat realisme, beberapa orang sampai menyebutnya documentary look. Dengan minimnya alat lighting dan kurangan stock film 35 mm, Rossellini menggunakan kreatifitas untuk membuat inovasi. Inilah yang dibutuhkan oleh para pembuat film di zaman kini. Kreatifitas dapat mengalahkan segala kekurangan. Memang kita membutuhkan suatu usaha lebih, namun semangat membuat film yang dimiliki oleh Rossellini memberikan tenaga lebih untuk melewati setiap usaha tersebut. Film ini sebenarnya memiliki banyak kekurangan teknis yang terlihat, namun semua itu tertutup dengan semangat mereka.

Selain semangat, film ini sangat berguna untuk dipelajari oleh para independent filmmaker. Teknik-teknik yang dipakainya sangat sederhana. Film ini memberitahu kita bahwa cerita lebih penting daripada teknis. Ketika kita bercerita, kemasan dari cerita kita akan selalu menjadi “nomor dua”. Seperti dongeng-dongeng zaman dulu, ketika orang tua kita menceritakannya kepada kita, orang tua kita sebenarnya hanya ingin menekankan pesan atau nasihat yang terkandung di dalam dongeng tersebut. Proses tersebut terlebih dapat menjadi pesan untuk orang-orang yang mau membuat film secara ber-“gengsi”. Kadang orang hanya melihat sisi kemasan sebagai hal yang HARUS dan HARUS menggunakan alat-alat yang “canggih”. Namun, apakah kita dapat menghasilkan cerita yang efektif dengan alat-alat yang “canggih” tersebut? Kembali lagi, kreatifitas adalah “nomor satu” dalam proses pembuatan sebuah film.

Kita kembali lagi membahas realisme.

Realisme itu sendiri merupakan suatu ide, tema, dan gaya yang dapat diinterpretasikan oleh pribadi masing-masing. Realisme bukanlah suatu “imajinasi yang terbatas”, namun malah sebaliknya. Dengan topik realisme itu sendiri kita dapat memaparkan, mengeluarkan, atau memberikan pendapat kita terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi secara bersama-sama dalam dunia nyata. Dan banyak sekali caranya: secara langsung, tidak langsung, atau menggunakan genre lain. Contoh-contoh film yang menggunakan realisme ada banyak sekali.

Beberapa juga menggunakan realisme agar kita dapat “mengaca” lebih mudah dengan para karakter yang ada di film. Kekurangan dari dunia imajinatif adalah kita susah untuk “mengaca” dengan para karakter yang ada di cerita, karena jauh dari jangkauan dunia nyata kita.

Namun sayang, masih banyak orang yang tidak mengerti dengan konsep realisme. Konsep realisme harus juga didukung oleh hal-hal yang berbau realisme. Kadang realisme itu sendiri diganggu oleh dialog yang aneh, hal-hal yang tidak akurat, dan sesuatu yang mustahil secara ilmiah. Contoh dari film tersebut adalah Furious 7 (2015). Film tersebut memiliki 2 dari 3 hal di atas. Dialog dari film tersebut beberapa kali terasa seperti dibuat-buat dan banyak sekali adegan yang mustahil secara ilmiah. Banyak orang yang menggunakan konsep realisme yang benar-benar bermain-main sehingga dapat dianggap sebagai film yang bodoh (bedakan dari bermain-main ala Jean-Luc Godard). Sedangkan realisme tidak boleh seperti itu. Realisme harus memberi secara jujur dan dapat dipercayai.

Sumber:


This article is truly my opinion. If you disagree with this (and that’s alright), you can always tell me how you feel in the comments below and also, thanks for reading!

No comments:

Post a Comment