Friday, February 5, 2016

Breathless (1960) - Film Style Analysis (In Indonesian Language)

This article was made for my study at Institut Kesenian Jakarta, It would be a shame if only my lecturer who was the only one who have read my writings.


Director                                   : Jean-Luc Godard
Producer                                 : Georges de Beauregard
Writer                                       : Jean-Luc Godard
Based on                                 : François Truffaut’s original treatment
Cinematographer             : Raoul Coutard
Music by                                  : Martial Solal
Editor                                        : Cécile Decugis & Lila Herman

Jean-Luc Godard merupakan salah satu pionir dari masa La Nouvelle Vauge (Inggris: French New Wave). Terinspirasi dari Neo-Realisme Italia, Breathless dibuat dengan gaya yang dianggap unik pada saat itu – menggunakan jump cut, menggunakan kursi roda, minim alat lighting, dan sistem kerja yang unik. Film berdurasi 90 menit ini masih memberikan pengaruh sampai ke dunia sinema sekarang; Teknik jump cut dipakai oleh para youtuber untuk membuat tempo berbicara mereka lebih cepat; Penggunaan minim alat lighting menginspirasi para independent filmmaker dan gerakan Dogme 95.

Setting dari film ini adalah di Perancis tahun 1950an. Kita dapat melihat teknologi dan suasana dari setting tersebut. Contoh setting yang mendukung tahun tersebut adalah radio. Pada zaman itu, televisi masih dianggap mahal – hanya masyarakat atas yang meiliki televisi. Namun semua orang memiliki radio. Radio digunakan oleh film ini sebagai salah satu point dari Mise en Scene 1950an.

Godard menginginkan film yang terkesan documentary atau bisa disebut pendekatan realisme, seperti shooting on location. Jadi Godard membuat film tersebut dengan pengeluaran yang seminim mungkin. Hal ini memaksa cinematographer Raoul Coutard untuk berinovasi. Coutard menggunakan 35 mm film HPS milik Ilford yang peka terhadap cahaya, namun pada saat itu hanya tersedia hanya untuk kamera fotografi. Coutard menggabungkan setiap roll film fotografi tersebut sehingga menjadi roll film untuk kamera sinema. Setelah itu, Coutard menaikkan ISO/ASA dari 400 menjadi 800. Film ini lalu dimasukkan ke dalam kamera merk Eclair – merekam hitam putih dengan Academy Aspect Ratio (1.37:1 atau 4:3) dan 24 Frame Per Second. Karena mereka hitam putih, maka hasil kontrasnya akan tinggi dengan brightness yang juga cukup tinggi di siang hari dan brightness rendah untuk di dalam ruangan atau malam hari.

Film ini hampir setiap shot-nya menggunakan handheld. Terlihat sekali bagaimana film ini menggunakan ­komposisi Rule of Thirds. Contoh yang paling terlihat adalah komposisi saat Michel berjalan dengan Patricia (two shot) dan saat Patricia berkaca di toilet.

Masalah yang timbul karena penggunaan kamera Éclair adalah kebisingan dari mesin kameranya. Sebagian besar suara dari film in harus direkam ulang melalui ADR (Automated Dialogue Replacement) dan Foely – dan semuanya merupakan Diegetic Sound. Contoh Non-Diegetic Sound dari film ini adalah penggunaan musik untuk menaikkan emosi atau pembukaan dan penutupan dari film.

Cutting dari film ini tidak menggunakan gaya yang “bermacam-macam”, hanya Intercut secara kronologis cerita. Film ini juga menggunakan sequence shot tanpa diganggu oleh cut ataupun jump cut. Biasanya dipadukan dengan teknik tracking menggunakan kursi roda. Contohnya saat Michel bertemu dengan Patricia atau pada saat Michel bertemu Tolmachoff. Film ini juga menggunakan intercut yang terlihat tidak lazim, atau lebih tepatnya kadang membuat orang bingung. Contohnya saat Michel berusaha mengambil senjata dari mobil curiannya yang mogok, menembak polisi, dan berlari di sebuah lapangan. Cutting dari adegan tersebut membuat beberapa orang bingung, karena melanggar 180 degree rule.

Secara keseluruhan, film ini terlihat memang terlihat seperti bermain-main. Sistem kerja yang dilakukan oleh Godard memang tidak lazim – tidak mengikuti standar industri. Banyak orang mengaku cara kerjanya tidak rapih, namun Assistant Director Pierre Rissient mengaku cara kerja Godard sangat terorganisir, dengan kata lain rapih. Tetapi sebagian besar penonton hanya melihat sebuah film dari hasilnya, bukan prosesnya (sayangnya mainstream audience seperti itu). Maka film ini bisa dianggap sukses kalau dilihat dari dampaknya.

Lalu bagaimana dengan pendapat diri saya personal dengan film ini? Apakah film ini baik untuk cara kerja saya ke depannya?

Jika Anda bertanya seperti itu, maka “YA”.

Film ini menggunakan teknik jump cut yang mempunyai dampak bahwa orang-orang tersebut akan berbicara dengan tempo cepat. Jika saya merekam orang wawancara, saya lebih suka melihat orang berbicara dengan tempo yang cepat, apalagi jika orang itu adalah orang yang superior. Biasanya yang saya potong adalah bagian “Ehhmmm…” atau “Hmmmm…” dari dialog orang tersebut. Potongan-potongan ini akan memberikan kesan konsistensi dari orang yang berdialog tersebut.

Selain dari teknik jump cut tersebut, saya tidak akan menggunakan teknik cutting yang bermain-main seperti yang dilakukan Godard. Saya merasa bingung atau terbawa keluar dari ruang cerita kadang kali saat menonton film ini. Tugas saya sebagai orang yang suka bercerita adalah menyalurkan cerita tersebut dengan jelas!
Selain itu adalah minimnya penggunaan alat lighting. Teknik ini dilihat oleh para independent filmmaker, termasuk diri saya sendiri. Dengan merekam hitam-putih, kita tidak perlu bermasalah dengan warna. Kita hanya harus fokus dengan lighting dari frame kita – hilanglah satu beban dari proses pembuatan film. Namun, kita tetap harus bisa membuat kontras dan brightness yang seimbang sehingga penonton dapat melihat isi dari frame kita. Selain itu, style yang bisa saya tuju dari penggunaan hitam-putih adalah neo-noir (sebagai style bukan genre).

Yang saya paling tidak suka dari film ini adalah sistem kerjanya. Godard membuat script, namun script itu tidak dikuti sepenuhnya. Ia memberikan dialog yang baru selama proses shooting berlangsung. Para aktor dan aktris harus berimprovisasi. Beberapa orang tidak merasa nyaman dengan cara kerja seperti ini. Saya sudah terbiasa dengan sistem kerja industri yang memiliki batasan untuk menjaga diri kita agar sesuai dengan jalurnya. Godard menggunakan caranya sendiri yang dia anggap baik, iapun menyimpan catatan-catatan kecil dalam bukunya. Namun jika dilihat, film ini kadang tidak terlihat konsisten, karena banyak dari cast dan crew tidak mengerti harus melakukan apa. Tugas seorang sutradara adalah mempersatukan pemikiran dari sebuah tim pembuat film. Contoh kasus pada film ini adalah pemeran Patricia, Jean Seberg, memiliki hubungan yang tegang dengan Godard ketika mengeksekusi cara acting Seberg di akhir film; Seberg menginginkan acting yang emosional – tegang, keras, dan penuh amarah; Godard menginginkan acting yang tenang.

Namun, proses yang spontanitas dari film ini memberikan cara tambahan untuk membuat film. Cara ini dapat dilaksanakan dalam film yang berskala kecil. Contohnya seperti film hitam-putih saya yang saya rekam dan saya post di akun Instagram saya (@henry.ali). Proses dari pembuatan film hitam-putih tersebut sangat spontan; Saya tidak menulis script, namun saya membuat sebuah atau beberapa outline di dalam otakku. Hasilnya cukup memuaskan. Cara spontan ini juga berguna untuk shooting sebuah dokumentasi. Shooting dokumentasi berarti kita harus menangkap moment yang hanya terjadi sekali. Kita harus bisa berpikir cepat dan siaga. Kegunaan dari proses berpikir spontanitas ini juga berguna ketika kita mengalami masalah dalam tahap produksi film. Di set sebuah film, tiba-tiba seorang aktor tidak dapat hadir, atau kita mengalami kerusakan teknis, dan kita harus mendapat shot itu di hari itu juga. Proses berpikir spontanitas dapat membantu kita untuk mengatasi masalah ini.

Sumber:


This article is truly my opinion. If you disagree with this (and that’s alright), you can always tell me how you feel in the comments below and also, thanks for reading!

No comments:

Post a Comment